"Soalnya saya nggak tahu harus ke mana nyari orang yang mau les privat. Saya tawarin ke teman-teman, mau nggak lima
ribu sebulan. Ternyata beberapa teman saya mau," kata Sony. Dia memang
dipercaya teman-temannya untuk mengajar, mengingat otaknya yang cerdas.
Setelah
mengajar teman-temannya di SMU, Sony mengaku ketagihan mengajar dan
merasa tertarik dengan dunia pendidikan. "Awalnya saya tertarik, ngajar
itu kok enak. Terus, tiap minggu di SMU 3 ada try out dan pembahasan,
itu gratis. Itulah awal mula saya terjun ke dunia bimbingan belajar,"
ujar Sony.
Tahun 1982, Sony lulus tes masuk ke Institut Teknologi Bandung
(ITB) Jurusan Teknik Sipil. Ketika dia masih tingkat satu, Sony
memutuskan untuk menikah. Saat itu istrinya kuliah di jurusan Biologi
ITB dan berumur sekitar tiga tahun lebih tua.
Setelah
menikah, Sony merasa tanggungannya semakin banyak. Akhirnya, untuk
menambah penghasilan, dia memutuskan untuk menjadi guru di SMU Angkasa Bandung. Ketika itu Sony mengajar pelajaran matematika, fisika, dan kimia untuk siswa kelas satu, dua, dan tiga.
"Setelah
itu, saya bekerja sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar. Baru
pada tahun 1990 saya memutuskan untuk membuka bimbingan belajar
sendiri," kata Sony.
Cikal bakal Sony Sugema College (SSC)
ini awalnya terletak di Jalan Dipati ukur. Modal awal pendirian bimbel
ini hanya Rp 1,5 juta, yang diperoleh Sony dari pembayaran royalti
buku-bukunya. Sony Sugema memang pernah menulis buku tentang pembahasan
soal-soal UMPTN yang setiap tahun selalu diperbaharui.
Awalnya
murid bimbingan belajar ini hanya 140 orang dan Sony satu-satunya
pengajar. Uang sebesar Rp 1,5 juta itu, kata Sony, digunakannya untuk
menyewa ruangan tempat belajar sebesar Rp 750.000 dan sisanya untuk
membayar gaji karyawan. Bimbingan belajar ini awalnya hanya
mengkhususkan diri sebagai bimbingan belajar intensif untuk menghadapi
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Lama
kelamaan, Sony merasa bahwa dirinya lambat laun tidak bisa menikmati
hasil jerih payahnya karena terlalu sibuk bekerja sebagai pengajar
tunggal. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta teman-temannya dari ITB,
UNPAD, dan IKIP (sekarang UPI) untuk membantunya mengajar di bimbingan
belajar tersebut.
Tahun 1991, dia membuka cabang di Jakarta disusul cabang-cabang di seluruh Indonesia.
Lembaga bimbingan belajar ini berhasil meluluskan 618 orang siswanya ke
ITB. Jumlah ini, kata Sony, menunjukkan hampir separuh mahasiswa ITB
merupakan lulusan SSC.
Ketika
ditanya apa yang membedakan SSC dengan bimbingan belajar lain, Sony
mengaku dia menerapkan dua sistem pengajaran. Sistem yang pertama, kata
Sony, dia menciptakan sistem penyelesaian soal dengan cepat yang diklaim
sebagai the fastest solution.
Fastest
solution, kata Sony, adalah cara belajar agar pelajaran lebih mudah
dipahami oleh siswa. Apabila siswa mudah memahami pelajaran, siswa akan
lebih bersemangat untuk belajar.
Selain
fastest solution, Sony juga memiliki metode lain, yaitu learning is
fun. Dengan metode ini, kata Sony, siswa akan lebih bergairah dan
bersemangat dalam mempelajari pelajaran-pelajaran yang selama ini
dianggap menakutkan seperti matematika dan fisika.
"Sebelumnya
banyak siswa yang geuleuh (tidak suka) sama matematika. Sekarang,
dengan metode ini, kita membuat anak mencintai matematika," kata Sony.
Dengan
kedua metode pengajaran tersebut, mau tidak mau pengajar yang berminat
untuk menjadi guru SSC harus memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya,
selain menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, pengajar juga
tidak boleh terlalu serius dan dapat diterima oleh siswa.
Sebelum
menjadi pengajar pun, kata Sony, mereka harus melewati beberapa tes.
Ujian yang pertama adalah tes tertulis untuk mengetahui seberapa jauh
calon pengajar menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Setelah itu,
mereka diharuskan melakukan simulasi mengajar di depan guru-guru SSC.
Setelah magang selama tiga bulan, barulah calon pengajar tersebut
diangkat menjadi pengajar tetap.
Gaji yang diterima para pengajar cukup memadai, berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000 setiap jam mengajar. "Kita kan harus memperhatikan kesejahteraan guru-guru," kata Sony.
Selain
berkat doa dan kasih sayang ibu, Sony mengaku salah satu kunci
kesuksesannya yang lain adalah dia berani untuk gagal. Kelemahan yang
terdapat pada sebagian besar anak muda, kata Sony, adalah karena
sebagian besar dari mereka takut gagal. Padahal, kata Sony, dengan
kegagalan kita bisa belajar banyak
"Perusahaan
besar saja pernah gagal. Namun, umumnya orang tidak pernah melihat
kegagalan sebelum kesuksesan yang mereka raih sekarang," kata Sony. Dia
juga menilai anak muda sekarang umumnya tidak mau bersakit-sakit dalam
memulai suatu usaha.
Sony memang berhasil mengembangkan bisnisnya-yang semuanya masih di bidang pendidikan-hingga menjadi empat perusahaan.
Tidak
heran jika dia menerima penghargaan dari ITB sebagai Penghargaan Alumni
ITB Berprestasi tahun 2002 dalam bidang industri. Sebelumnya, Sony
memperoleh penghargaan Citra Top Executive Indonesia tahun 1997 dan 50
Enterprise Semangat Wirausaha Indonesia dari majalah SWA dan Accenture.
Serius
dan berkemauan keras memang salah satu falsafah hidupnya. Hasilnya, dia
sukses pada usia muda. Pepatah mengatakan, di mana ada kemauan di situ
ada jalan.
0 komentar:
Posting Komentar