Jumat, 30 November 2012

Kisah Sukses Bimbingan Belajar SONY SUGEMA COLLEGE (SSC)

SONY Sugema mengaku mengawali karirnya sebagai "pengusaha" bimbingan belajar ketika duduk di kelas dua SMU Negeri 3 Bandung saat berusia 15 tahun. Ketika itu, ayahnya meninggal dunia sehingga Sony harus bekerja untuk menghidupi ibu dan keempat adiknya. Ia lalu memberi les privat kepada teman-teman sekelasnya.
"Soalnya saya nggak tahu harus ke mana nyari orang yang mau les privat. Saya tawarin ke teman-teman, mau nggak lima ribu sebulan. Ternyata beberapa teman saya mau," kata Sony. Dia memang dipercaya teman-temannya untuk mengajar, mengingat otaknya yang cerdas.
Setelah mengajar teman-temannya di SMU, Sony mengaku ketagihan mengajar dan merasa tertarik dengan dunia pendidikan. "Awalnya saya tertarik, ngajar itu kok enak. Terus, tiap minggu di SMU 3 ada try out dan pembahasan, itu gratis. Itulah awal mula saya terjun ke dunia bimbingan belajar," ujar Sony.
Tahun 1982, Sony lulus tes masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Sipil. Ketika dia masih tingkat satu, Sony memutuskan untuk menikah. Saat itu istrinya kuliah di jurusan Biologi ITB dan berumur sekitar tiga tahun lebih tua.
Setelah menikah, Sony merasa tanggungannya semakin banyak. Akhirnya, untuk menambah penghasilan, dia memutuskan untuk menjadi guru di SMU Angkasa Bandung. Ketika itu Sony mengajar pelajaran matematika, fisika, dan kimia untuk siswa kelas satu, dua, dan tiga.
"Setelah itu, saya bekerja sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar. Baru pada tahun 1990 saya memutuskan untuk membuka bimbingan belajar sendiri," kata Sony.
Cikal bakal Sony Sugema College (SSC) ini awalnya terletak di Jalan Dipati ukur. Modal awal pendirian bimbel ini hanya Rp 1,5 juta, yang diperoleh Sony dari pembayaran royalti buku-bukunya. Sony Sugema memang pernah menulis buku tentang pembahasan soal-soal UMPTN yang setiap tahun selalu diperbaharui.
Awalnya murid bimbingan belajar ini hanya 140 orang dan Sony satu-satunya pengajar. Uang sebesar Rp 1,5 juta itu, kata Sony, digunakannya untuk menyewa ruangan tempat belajar sebesar Rp 750.000 dan sisanya untuk membayar gaji karyawan. Bimbingan belajar ini awalnya hanya mengkhususkan diri sebagai bimbingan belajar intensif untuk menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Lama kelamaan, Sony merasa bahwa dirinya lambat laun tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya karena terlalu sibuk bekerja sebagai pengajar tunggal. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta teman-temannya dari ITB, UNPAD, dan IKIP (sekarang UPI) untuk membantunya mengajar di bimbingan belajar tersebut.
Tahun 1991, dia membuka cabang di Jakarta disusul cabang-cabang di seluruh Indonesia. Lembaga bimbingan belajar ini berhasil meluluskan 618 orang siswanya ke ITB. Jumlah ini, kata Sony, menunjukkan hampir separuh mahasiswa ITB merupakan lulusan SSC.
Ketika ditanya apa yang membedakan SSC dengan bimbingan belajar lain, Sony mengaku dia menerapkan dua sistem pengajaran. Sistem yang pertama, kata Sony, dia menciptakan sistem penyelesaian soal dengan cepat yang diklaim sebagai the fastest solution.
Fastest solution, kata Sony, adalah cara belajar agar pelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa. Apabila siswa mudah memahami pelajaran, siswa akan lebih bersemangat untuk belajar.
Selain fastest solution, Sony juga memiliki metode lain, yaitu learning is fun. Dengan metode ini, kata Sony, siswa akan lebih bergairah dan bersemangat dalam mempelajari pelajaran-pelajaran yang selama ini dianggap menakutkan seperti matematika dan fisika.
"Sebelumnya banyak siswa yang geuleuh (tidak suka) sama matematika. Sekarang, dengan metode ini, kita membuat anak mencintai matematika," kata Sony.
Dengan kedua metode pengajaran tersebut, mau tidak mau pengajar yang berminat untuk menjadi guru SSC harus memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya, selain menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, pengajar juga tidak boleh terlalu serius dan dapat diterima oleh siswa.
Sebelum menjadi pengajar pun, kata Sony, mereka harus melewati beberapa tes. Ujian yang pertama adalah tes tertulis untuk mengetahui seberapa jauh calon pengajar menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Setelah itu, mereka diharuskan melakukan simulasi mengajar di depan guru-guru SSC. Setelah magang selama tiga bulan, barulah calon pengajar tersebut diangkat menjadi pengajar tetap.
Gaji yang diterima para pengajar cukup memadai, berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000 setiap jam mengajar. "Kita kan harus memperhatikan kesejahteraan guru-guru," kata Sony.
Selain berkat doa dan kasih sayang ibu, Sony mengaku salah satu kunci kesuksesannya yang lain adalah dia berani untuk gagal. Kelemahan yang terdapat pada sebagian besar anak muda, kata Sony, adalah karena sebagian besar dari mereka takut gagal. Padahal, kata Sony, dengan kegagalan kita bisa belajar banyak
"Perusahaan besar saja pernah gagal. Namun, umumnya orang tidak pernah melihat kegagalan sebelum kesuksesan yang mereka raih sekarang," kata Sony. Dia juga menilai anak muda sekarang umumnya tidak mau bersakit-sakit dalam memulai suatu usaha.
Sony memang berhasil mengembangkan bisnisnya-yang semuanya masih di bidang pendidikan-hingga menjadi empat perusahaan.
Tidak heran jika dia menerima penghargaan dari ITB sebagai Penghargaan Alumni ITB Berprestasi tahun 2002 dalam bidang industri. Sebelumnya, Sony memperoleh penghargaan Citra Top Executive Indonesia tahun 1997 dan 50 Enterprise Semangat Wirausaha Indonesia dari majalah SWA dan Accenture.
Serius dan berkemauan keras memang salah satu falsafah hidupnya. Hasilnya, dia sukses pada usia muda. Pepatah mengatakan, di mana ada kemauan di situ ada jalan.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

 
http://gg.gg/videobuatweb