Dari hanya sebagai penjaga tas, ia kini memiliki perusahaan dengan 31
cabang di 21 kota dan menghidupi 200 karyawan. Modal puluhan juta
berkembang menjadi omzet miliaran rupiah. Bermodalkan kegiatan mengamati
dan meniru, dan juga memodifikasi, usahanya menggurita sampai ke pelosok
nusantara.
ANDA PERNAH MENDAPAT kado ulang tahun berupa mug cantik?
Atau bingkai foto dan jam unik yang dipajang di meja kantor? Bisa jadi,
mug, bingkai foto atau jam nan unik itu adalah hasil kreasi dari Kedai
Digital. Kedai yang menyediakan produk dan jasa pembuatan cinderamata (merchandice) yang didisain khusus dan memiliki sentuhan pribadi. Tak kurang dari 60 jenis merchandise cantik nan unik tersedia dan dapat dipesan di Kedai Digital ini.
Adalah Saptuari Sugiharto (30) yang memelopori pendirian kedai
tersebut pada 2005. Tak ada strategi bisnis yang rumit atau modal awal
yang besar ketika pria yang akrab disapa Saptu ini memulai usahanya
membuka Kedai Digital. Sebagai anak muda yang cukup gaul, konsep
usahanya pun terdengar nge-pop dan sederhana. Terinspirasi dari
aktivitas gaul bersama teman-temannya di kampus Universitas Gajah Mada
(UGM), Yogyakarta, yaitu “ATM” dan “PISS”. Ini konsep yang dilahirkannya
sendiri. Konsep ini dipegang teguh olehnya, hingga pria bertubuh tegap
ini menjadi salah satu wirausahawan muda potensial di tanah air.
“ATM” yang dimaksud adalah Amati, Tiru, dan Modifikasi, sedangkan “PISS” merupakan kepanjangan dari Positive Thinking, Ikhtiar
dan Ikhlas, Sedekah, dan Sukses dunia akhirat. Di tengah menjamurnya
kreativitas anak muda di tanah air, serta maraknya barang dan jasa yang
ditawarkan di pasar, konsep “ATM” Saptu ternyata ampuh.
Ia, misalnya, tidak perlu menciptakan produk baru, yang mungkin
membutuhkan dana miliaran rupiah untuk riset dan pengembangan produk
(R&D). Dia cukup mengamati produk yang telah ada 6 pasaran dan
diminati masyarakat, kemudian menirunya. Tetapi tidak meniru 100 persen,
melainkan memberikan sentuhan modifikasi, sehingga produk yang
dihasilkan benar-benar berbeda. Tak heran bila produk-produk Kedai
Digital cukup diminati masyarakat.
“Kalau Saptuari hanya meniru saja, ia pun akan ditiru dan dapat tamat sekejap”
TERINSPIRASI TAWURAN
Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptu telah mendambakan memiliki
usaha sendiri. Sembari kuliah, beberapa usaha dijalaninya. Mulai dari
menjaga tas di koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker
hingga sales dari agen kartu seluler dan rokok. Perubahan besar terjadi pada 2004, ketika Saptu bekerja sebagai event organizer disebuah
perusahaan di Yogyakarta. Ia terheran-heran melihat salah insiden dalam
konser Dewa di mana para penggemar ribut sampai memicu tawuran hanya
karena berebut merchandise sang artis.
Dalam benak Saptu, merchandise berlogo atau bergambar selebriti seperti t-shirt, pin, topi dan lain sebagainya itu, sebetulnya dapat dibuat dan diperbanyak sendiri. “Jadi, tak perlu tawuran segala. Dari situ saya pikir, merchandise juga sebenarnya bisa dipersonalisasi untuk setiap orang, dan bisa jadi hadiah,” ungkapnya.
Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 mantan marketing Swaragama
FM itu mengambil langkah berani. Ia mendirikan Kedai Digital –
perusahaan yang memproduksi barang-barang cinderamata (seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Untuk
modal awal, ia rela menjual motor dan meminta orangtua menggadaikan
rumah keluarga, akhirnya terkumpul modal sebanyak Rp 28 juta.
Butuh waktu enam bulan baginya untuk memulai kegiatan Kedai Digital. Prioritas awal, ia mesti mencari mesin digital printing.
Beruntung, mesin itu ditemukannya di Bandung. Ia juga mencari tahu
sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia mempersiapkan tempat usaha,
menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan
sendiri.
Mulailah dia memproduksi beberapa merchandise. Pada mulanya
masih terbatas pada kaos dan pin. Ketika mulai stabil, Saptu
memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni, yang
tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing, ia
meminta bantuan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain, yang juga
tersebar di kota itu. Pada awalnya, target pasar Kedai Digital adalah
para mahasiswa.
Pada tahun pertama, Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan
sebesar Rp 400 juta. Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi
Rp 900 juta. Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada
2007 menembus angka Rp 1,5 miliar. Bermula dari sebuah kios kecil di
daerah Gejayan, Yogyakarta, kini Kedai Digital memiliki outlet di
21 kota di tanah air. Di antaranya di Jogyakarta, Solo, Semarang, ,
Magelang, Kudus, Klaten, Purwokerto, Sukoharjo, Wonol Madiun, Malang,
Surabaya, Jember, Balikpapan, Sukabumi, Denpasar, Medan, Padang, Batam,
Pekanbaru, dan Banda Aceh.
GAGAL ITU WAJAR
Sejak masih mahasiswa, anak yatim yang periang ini sudah aktif
menjajal beberapa peluang usaha. Usaha awal yang dijajalnya adalah
beternak ayam. Dari tiga kali panen, hanya sekali untung dan itupun
hanya Rp 70 ribu. Tapi upaya pertama ini tak menyurutkan langkahnya
menjadi anak yang mandiri. Kegagalan dalam berusaha adalah wajar namun
jangan sampai menyerah. Dari pengalamannya, ia menerapkan konsep “PISS”.
Positive thinking, ikhtiar dan ikhlas, sedekah dan sukses dunia akhirat,” kisahnya dalam Seminar Entrepreneur Youth di Jakarta, 11-12 Maret 2009.
Narsisisme Bisnis Merchandise Kedai Digital
SAPTUARI SUGIHARTO MEMILIH menaruh rapat-rapat ijazahnya dari
Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, demi menumbuhkan naluri
bisnisnya. Wirausaha yang telah dirintisnya kuliah – mulai dari
berjualan stiker, menjaga koperasi, sampai berjualan ayam potong –
membuat insting-nya terhadap bisnis lebih terarah. Itu juga yang menjadi salah satu modal utamanya untuk memulai bisnis personal merchandise dan digital printing, Kedai
Digital. Berdiri lima tahun lalu ini awalnya hanya memproduksi mug,
pin, dan kaos yang dicetak eksklusif dengan foto diri pemesan. Tak
disangka, usaha ini membuahkan hasil dan memperoleh pengakuan dari
berbagai pihak. Saat ini Kedai Digital telah berkembang menjadi 31 kedai
dan beromzet puluhan juta rupiah tiap bulannya. Keberhasilan ini
merupakan buah dari prinsip Saptu, untuk tidak menggantungkan diri pada
orang lain.
Q: Dalam bisnis ini tentu saja banyak persaingan dengan kompetitor. Apa saja antisipasi Anda?
A: Kuncinya tetap satu, yaitu inovasi. Jadi ketika dulu saya memulai,
saya hanya bisa membikin satu mug berwarna putih. Dengan banyaknya
permintaan – bahkan juga ide – akhirnya warnanya bervariasi. Lalu
ditambahkan lagi inovasinya, dengan meluncurkan mug bergagang hati. Ide
lain, keramik putih untuk lantai diperbarui dengan menaruh cetakan foto
di atasnya.
Q: Salah satu prinsip Anda adalah ATM (atasi, tiru, dan modifikasi). Tapi bagaimana jika produk Anda yang ditiru pihak lain?
A: Bisnis saya pendekatannya ada dua, secara profesional dan juga
spiritual. Kalaupun saya ditiru, Insya Allah secara profesional orang
sudah menirunya karena saya benar-benar melakukan percobaan sendiri.
Selain itu, segmen pasar kami unik. Bila dulu kami membidik mahasiswa
yang sedang pacaran, sekarang ini segmennya meluas. lbu-ibu yang hamil
minta dibuatkan mug untuk selamatan 7 bulan anaknya. Bahkan, ada juga
peringatan 100 hari meninggal yang meminta foto keramik di atas piring.
Segmen Kedai Digital sekarang sudah mencakup janin yang belum lahir ke
dunia sampai yang sudah berpulang ke akhirat.
Q: Anda terbiasa mengakomodasi permintaan desain dari pelanggan.
Bagaimana bila ada pelanggan yang meminta desain yang belum pernah
diproduksi?
A: Kami sudah menyiapkan ratusan template desain sebelumnya. Jadi,
setiap pelanggan datang, sudah bisa melihat album. Untuk konsumen yang
ingin lebih eksklusif, kami persilakan juga untuk duduk bareng bersama
desainernya dengan hanya membayar Rp.25.000,- untuk sebuah mug.
Q: Bagaimana dengan konsep bisnisnya?
A: Kami memiliki konsep kemitraan yang mirip waralaba. Untuk soal
Inovasi, kami berikan kebebasan kepada teman-teman mitra kami. Orang
bisa saja membuat sarung bantal unik yang dibubuhi fotonya sendiri. Yang
torpenting dalam konsep saya itu adalah bahwa bisnis merchandising ini mongandung unsur narsis dan emosi.
Q: Apa yang diperoleh mitra Kedai Digital selain boleh memakai mereknya?
A: Bahan baku dan proses pelayanannya juga. Setiap bukan mitra juga membayar royalti sebesar 25%.
Q: Dengan sistem kemitraan ini, Anda telah melebarkan sayap sampai 31 cabang berdiri. Tapi tak ada satu pun yang berlokasi di mall. Mengapa?
A: Setelah saya pelajari, konsep merchandising itu berbeda dengan
ketika kita menjual barang jadi di mal. Orang yang memilih, jebret,
langsung setuju dibawa pulang. Tapi kami memiliki proses lain, yaitu
konsultasi yang tidak bisa dilakukan di tempat ramai. Orang yang datang
itu memang bertujuan membuat merchandise, bukan sekadar
mampir. Ternyata ketika saya kembangkan konsep seperti ini, terbukti
berhasil daripada teman-teman yang buka di mal.
Q: Apa yang menentukan dipilihnya sebuah lokasi?
A: Jelas di semua kota di Indonesia. Walaupun bukan kota besar, ada
beberapa kota yang kita rekomendasikan. Namun, tentu saja lokasi itu
harus merupakan tempat-tempat yang gampang diakses. Tempat-tempat yang
dekat dengan kampus diutamakan, bisa juga kampus atau sekolah, atau
tempat anak muda nongkrong
Awalnya Kedai Digital hanya ingin dikembangkan bersama teman-teman
saja. Namun karena banyak permintaan dari masyarakat yang ingin
bergabung, akhirnya Saptu membuka peluang kemitraan, bagi mereka yang
memiliki kesamaan visi. Alumnus UGM 199H kemudian tak henti
mengembangkan konsep perluasan usaha. Hingga kemudian lahirlah Standard
Operational Procedure (SOP) dan bisnis Kedai Digital juga dikembangkan
dengan sistem franchice Mulai 2007, Kedai Digital adalah sistem Business Opportunity (BO) yang relatif berbeda dengan franchise. Melalui BO ini, partneryang membuka cabang Kedai Digital dapat berkreasi dan mengembangkan inovasi-inovasi merchandise baru.
Di Yogyakarta, Saptu juga mendirikan Kedai Digital Supply. Pabrik
inilah yang menyediakan semua bahan baku untuk prses pembuatan merchandise, yang juga dikirimkan kepada semua partner Kedai
Digital. Kini, tak kurang dari 30 mitra di 30 kota turut berkerja
membesarkan Kedai Digital. Bile dihitung-hitung, dari hanya
mempekerjakan dirinya sendiri dan dua rekannya, Kedai Digital kini mampu
menghidupi lebih dari 200 karyawan.
UNIK DAN PERSONA
Saptu mengakui, edukasi pasar mengenai produk Kedai Digital tidak
berlangsung kilat. Edukasi pasar berjalan dengan sendirinya. Pada tahun
kedua, nampaknya edukasi pasar mulai melembaga. Hal itu
terlihat dari omzet penjualan yang mulai naik. Setelah lewat tahun
ketiga, kurva penjualannya lebih tinggi lagi. Itu terjadi setelah meraih
penghargaan Wirausaha Muda Mandiri 2007. Waktu itu, ia dan Kedai Digital mulai banyak di-blow up oleh media. Karen, itulah makin banyak orang yang tahu tentang Kedai Digital.
Kedai Digital adalah sistem Business Opportunity (BO), yang
relatif berbeda dengan franchise. Melalui BO ini, partner yang membuka
cabang Kedai Digital dapat berkreasi dan mengembangkan inovasi-inovasi
merchandise baru.
Produk-produk unik dari kedainya, menurut Saptu, memang mengedepankan
sentuhan pribadi. Bahkan, bisa juga untuk membangun sisi narsis banyak
orang. Apalagi Sekarang banyak orang yang berpikir untuk membuat atau
memiliki merchandise barang yang unik. Selain lebih personal,
dia juga menekankan sisi kreatif. Beragam produk hasil produksi bisa
dimanfaatkan untuk perorangan maupun kelompok hingga perusahaan
sekalipun. Tak ayal ini menjadi media ekspresi paling gres khususnya
bagi para. remaja. Penyebabnya tak lain adalah kemudahan untuk memiliki
satu di antara beragam produk yang ditawarkan alias boleh memesan satu
saja. Bahkan, setiap orang bisa saja memesan merchandise semaunya, sesuai slogan Kedai Digital, “Bikin Mug 84 Satoe Sadja atau Bikin Merchandise Semau Kamu”.
Saptu juga tak mau hanya berhenti di situ. “Kami terus melakukan
inovasi. Contohnya foto keramik. Dulu keramik hanya untuk lantai.
Sekarang, keramik bisa juga jadi jam dinding dan dicetak foto di
atasnya,” kata putra Yogyakarta kelahiran 8 September 1979 ini.
Sekarang, produk foto keramik jadi produk favorit. Jadi foto di cetak
di atas keramik yang biasanya untuk lantai. Keramik berfoto itu juga
bisa dijadikan jam dinding. Kapasitas produksi Kedai Digital sendiri
beragam untuk setiap jenis produk. Untuk foto keramik, misalnya,
kapasitas produksinya bisa mencapai lebih dari 8.000 per bulan Sedangkan
mug mencapai sekitar 15.000 mug per bulan.
Usaha Kedai Digital terus berlanjut. Baru-baru ini misalnya Kedai Digital tahun ini mengenalkan brand baru
berupa Kedai Digital Cutting. Bisnis ini lebih spesifik, yaitu berupa
pembuatan kaos. Uniknya, konsumen bisa memesan desain dan tulisan sesuai
selera meski hanya satu kaos saja. “Di Kedai Cutting siapa pun bisa
memesan kaos semaunya. Kata-katanya silakan mau bikin yang lucu atau apa
pun. Desainnya pun terserah,” lagi-lagi Saptu menyerahkan keputusan
kepada pelanggannya yang kebanyakan anak muda – yang memang banyak
maunya.
Kedai Digital Cutting ini dalam sekejap mendapat respons luar biasa
dari anak-anak muda. Tidak sedikit pasangan anak muda yank membuat kaos
dengan tulisan dan warna yang sama. Kemudian dan kebebasan memilih
desain, warna, dan tulisan ini rupanya menjadi daya tarik tersendiri.
Saptuari juga membuka kesempatan untuk para investor yang ingin memiliki
usaha seperti ini dengan sistem kemitraan Business Oportunity (BO).
Saptuari berharap, kehadiran konsep bisnis ini anak muda bisa
mengekspresikan kreativitasnya di kaos. “Mereka bisa mengekspresikan
kreasinya lewat kaos, sehingga bisa diasah,” katanya.
Ide sepertinya tak akan pernah hilang dari benak Saptu. Dengan segala
kreativitas dan upaya menjalankan kemitraan dengan baik, tak heran bila
Saptuari – lulusan Jurusan Perencanaan Pengembangan Wilayah Fak.
Geografi Universitas Gadjah Mada (2001) – dianugerahi Indonesia Small
& Medium Business Entrepreuner Award (ISMBEA) pada Agustus 2008.
Saya ingin berpesan, jadilah mahasiswa yang kreatif dan tidak
hanyu berpangku tangan. Mulailah berani berwirausaha tanpa harus
menunggu diwisuda.
Sumber :
http://wirasmada.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar