Suatu ketika ada seorang teman saya yang datang ke rumah dan dia
bercerita tentang kekhawatirannya jika dia tidak menjadi sukses. Dia
selalu bercerita bahwa beban terasa berat untuknya karena berhubungan
dia merupakan anak pertama di keluarganya, terlebih lagi dia adalah anak
laki-laki yang secara tidak langsung dituntut untuk meneruskan orang
tuanya.
Dia begitu khawatir karena juga statusnya yang masih sebagai
mahasiswa di saat teman-temannya (termasuk saya sudah lulus dan sedang
meniti karir). Setelah dia selesai bercerita, saya ambil kesimpulan
bahwa dia terserang suatu sindrom, yang dinamakan sindrom anak pertama!
Pertama kali saya mendengar sindrom ini dari mentor saya, ketika
sindrom serupa menyerang saya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, saya
bercerita kepada mentor saya bahwa ibu saya sangat khawatir jika setelah
lulus kuliah saya memilih untuk tidak bekerja dan malah melanjutkan
usaha/bisnis. Maklum, ibu saya masih termasuk orang yang memegang
stereotipe umum bahwa setelah lulus kuliah seorang harus bekerja di
sebuah perusahaan yang bonafit agar bisa membanggakan orang tuanya atau
secara aman menjadi pegawai negeri.
Mentor saya kemudian bilang :
“Seorang ibu itu wajar kalau khawatir akan masa depan anaknya, terutama kamu adalah anak pertama. Itu adalah sebuah sindrom yang normal terjadi pada seorang ibu. Ini seperti proses melahirkan pertama kali. Ada rasa deg-deg an, khawatir, takut dan cemas berkecamuk. Karena saat kamu lulus kuliah itu artinya kamu juga akan dilahirkan kembali menjadi manusia baru. Apalagi kalau kamu punya seorang adik, maka kesuksesan atau kegagalan kamu akan menjadi panutan untuk adikmu.”
Saya ceritakan hal serupa kepada teman saya dan kemudian teman saya menjawab :
“Bener juga ya!”
Dan memang sudah tentu benar!
“Bener juga ya!”
Dan memang sudah tentu benar!
Ada istilah yang mengatakan : Life begin at 20th. Yang artinya hidup
kembali dimulai setelah usia 20-an. Seperti proses reborn. Apakah kamu
ingin dilahirkan secara sesar yang lebih aman, atau secara alami yang
penuh resiko atau ada keyakinan dan kebahagiaan tersendiri. Maka dalam
hidup sama juga seperti itu. Menjadi pegawai itu adalah cara amannya
sedangkan menjadi pengusaha adalah penuh resiko tetapi sangat indah.
Sindrom ini tidak hanya terjadi pada anak pertama, tetapi juga pada
anak yang bukan anak pertama, tetapi adalah dia menjadi orang pertama
yang membangun bisnisnya sendiri. Seperti saat kemarin juga saya
berkunjung ke tempat teman saya yang lain, saya ditanya oleh orang
tuanya : “Mas, kenapa sih pilih berbisnis? Padahal kan jadi pekerja
lebih terjamin? Itu juga sama dengan anak saya”. Beliau bertanya seperti
itu, karena anaknya tersebut baru saja keluar dari tempatnya bekerja,
di sebuah perusahaan makanan multinasional yang cukup menjanjikan untuk
karirnya.
Sebuah riset mengatakan bahwa 51,9% pengusaha yang sukses adalah
orang pertama dalam keluarganya yang membangun bisnis sendiri. Dan
inilah adalah tantangan terbesarnya : berjuang mempertahankan keputusan
menjadi pengusaha terhadap keinginan orang tua.
Lalu, bagaimana untuk mengatasi permasalahan ini?
Untuk mengatasi sindrom ini, tidak ada cara lain selain
mengkomunikasikan kembali apa yang menjadi impianmu kepada orang tua dan
bagaimana kamu akan mewujudkan impian tersebut. Dengan demikian dia
menjadi yakin bahwa apapun pilihan kamu, kesuksesan sudah di depan mata.
Entah itu menjadi pengusaha ataupun menjadi pegawai. Seorang motivator
bilang bahwa selaraskanlah impianmu dengan keinginan orang tua, dengan
demikian impian itu akan menjadi lebih mudah untuk dicapai dan tidak
perlu lagi khawatir.
Dan penting untuk diingat :
Setiap orang tua menginginkan anaknya mendapat yang terbaik. Jadi yang terpenting adalah bukan kita akan menjadi apa, tapi yakinkan & buktikan ke orang tua mu bahwa dengan menjadi pengusaha/entrepreneur itulah jalan terbaikmu!
0 komentar:
Posting Komentar